Awal Waktu Shubuh: Terlalu Cepat atau Sudah Benar?

K. Pendahuluan

Persoalan waktu Shubuh di Indonesia terlalu cepat sebenarnya bukanlah hal yang perlu. Belasan tahun lalu hal ini sudah pernah dibahas dan dipublikasikan oleh beberapa ahli agama, ulama yang saya tahu yang pertama kali membahas ini adalah Syaikh Mamduh di majalah Qiblati tahun 2009 (mungkin sebelum beliau juga ada namun tidak saya ketahui). Penelitian tentang ini dilanjutkan oleh beberapa lembaga peneliti di Indonesia. Tahun 2021 persoalan ini kembali heboh karena Majelis Tarjdid PP Muhammadiyah telah mengeluarkan keputusan untuk melambatkan waktu Shubuh sekitar 8 menit dari jadwal sebelumnya dengan menetapkan awal waktu Shubuh dengan dip/sudut elevasi -18°, dan sebelumnya hal yang serupa juga diputuskan oleh pemerintah Malaysia.

Ini merupakan hal yang menarik dan saya juga ingin ikut membahasnya. Oleh karena itu saya membaca beberapa referensi mengenai hal ini, mulai memeriksa dan membaca kembali majalah Qiblati yang lama, lalu dilanjutkan dengan membaca bahan bacaan yang lebih baru dalam media buku maupun artikel daring yang reliabel.

L. Waktu Shubuh menurut Syakh Mamduh Farhan al-Buhairi

Syaikh Mamduh yang merupakan ulama dari Arab Saudi menulis Salah Kaprah Waktu Subuh dalam 4 seri, yang mulai dimuat di Majalah Qiblati Edisi 08 Tahun IV 05-1430/ 05-2009 sampai Edisi 11 08-1430/08-2009. Berikut ini ringkasan pendapat beliau :

  1. Berdasarkan pengamatan syaikh waktu adzan Shubuh dikumandangkan sebelum waktunya berkisar antara 9 sampai 28 menit.
  1. Sebagian besar negeri Muslim shalat Shubuh mengikuti jadwal yang menjadikan Astronomical Twilight (Fajar Astronomi) sebagai awal terbitnya fajar, padahal ini adalah fajr kadzib.
  1. Jadwal waktu Shubuh berdasarkan hisab saat ini kebanyakan keliru, termasuk jadwal yang dibuat Ummul Qura Arab Saudi.
  1. Syaikh mempertanyakan jadwal waktu Shubuh yang dibuat oleh para ahli falak di berbagai negara berbeda-beda, ada yang -20° (Indonesia Malaysia), -19.5° (EGAS Mesir), -18.5° (UQ Arab Saudi), -15° (ISNA Amerika Utara). Jika memang spesialis ahli falak kenapa hasilnya bisa berbeda-beda? Apakah Muslim yang tidak berada di Amerika Utara mau menerapkan kriteria ISNA misalnya? Beliau juga mempertanyakan EGAS yang menetapkan kriteria beradasarkan pakar asing non-Muslim Lehman dan Melthe dibuat berdasarkan dalil syariat atau hanya teori astronomi saja?
  1. Di Arab Saudi ada penelitian yang terdiri dari ahli falak dan ulama untuk mengevaluasi waktu Shubuh selama setahun penuh di tempat yang tak tersentuh listrik maupun sarana penerangan yang lain yang secara signifikan mempengaruhi hasil. Hasilnya adalah fajar shadiq muncul di kisaran -14° dan -15.1° dengan rata-rata -14.6°, yang artinya kalender Ummul Qura terlalu cepat sekitar 20 menit.
  1. Hasil penelitian di atas sesuai dengan kriteria ISNA untuk waktu Shubuh yaitu -15°. Oleh karena itu Syaikh menyebut jadwal waktu Shalat yang terbaik saat ini adalah kriteria ISNA.
  1. Solusi:
    • Jika memungkinkan muadzin sebaiknya mengakhirkan adzan Shubuh 20-25 menit. Jika tidak mampu, maka sebaiknya mengakhirkan iqamat 25 menit setelah adzan. 20- 25 menit ini selisih kisaran antara -20° yang digunakan Indonesia dengan -15° kriteria ISNA dan -14° hasil penelitian di Arab Saudi.
    • Imam memulai shalat Shubuh sesuai waktu di atas.
    • Orang yang shalat di rumah harap bersabar dan tidak langsung shalat Shubuh setelah adzan. Tunggu sekitar 25 menit.
    • Tetap jaga ukhuwah
    • Melakukan penelitian dan mengkaji ulang tentang waktu Shubuh bersama Kementrian Agama, MUI, dan lain-lain.

M. Waktu Shubuh dan Isya menurut ISRN

Islamic Science Research Network (ISRN)-UHAMKA yang dipimpin oleh Prof Tono Saksono meneliti waktu Shubuh lebih dalam secara saintis dengan pemahaman syariatnya. Ada dua buku yang membahas detil hasil laporan ISRN yaitu Evaluasi Awal Waktu Subuh dan Isya:Perspektif Sains, Teknologi dan Syariah diterbitkan tahun 2017. Lalu pada bulan Maret 2021 buku berbahasa Inggris terbit dengan judul Premature Dawn: The Global Twilight Pattern yang lebih lengkap karena ada tambahan hasil penelitian yang lebih baru dan beberapa revisi, serta menargetkan perubahan ke ruang lingkup yang lebih luas lagi: umat Islam di seluruh dunia. Kedua buku tersebut sudah saya baca dan tulis resensinya di Goodreads. Berikut ini ringkasan hasil penelitian ISRN:

  1. Fajar shadiq terjadi pada saat antara fajar nautika dan fajar sipil. Hal ini berdasarkan hasil penelitian ISRN dan juga jawaban yang diberikan Institute of Astronomy, University of Cambridge atas pertanyaan seorang Muslim mengenai awal waktu Shubuh.
  1. Pada awalnya fokus penelitian adalah waktu Shubuh saja, waktu Isya tidak menjadi perhatian karena dianggap meskipun lebih lambat maka tidak masalah. Pada akhirnya disadari bahwa bukan waktu Isya yang menjadi masalah, melainkan waktu Maghrib yang seharusnya sudah habis waktunya namun dianggap masih ada. Sehingga waktu Isya juga diteliti dan menjadi perhatian.
  1. Alat yang digunakan untuk penelitian:
    • Sky Quality Meter (SQM) Instrumen untuk mengukur tingkat kecerlangan malam, data yang direkam dalam format ASCII. Memori yang diperlukan sangat kecil. SQM ini memiliki sensitifitas cahaya yang lebih baik dan menjadi alat acuan utama.
      Imaging Sensors: All Sky Camera (ASC) Alcor System, DSLR, Kamera Gadget, dan Drone. Data yang direkam dalam format foto, sehingga membutuhkan kapasitas memori yang besar. ASC adalah Kamera DSLR yang dilengkapi fish eye lense yang diproduksi Alcor. Dengan ini memungkinkan mendapatkan foto seluruh wilayah langit 360 derajat. Pada awalnya (sampai pertengahan 2019) yang menjadi instrument sensor utama penelitian adalah SQM, kamera hanya sebagai verifkasi saja. Namun karena data SQM rawan dimanipulasi dan sulit diverifikasi oleh publik secara umum, dan juga karena ada penelitian OpenFajar-Project United Kingdom (OFUK) yang menggunakan ASC sebagai instrumen sensor utama yang menghasilkan 56.430 foto selama 554 hari yang bisa diverifikasi dengan mudah oleh siapa saja, maka ISRN menjadikan kamera sebagai instrumen sensor utama. Sejak awal tahun 2020, ISRN tidak meneruskan penggunaan SQM yang baru, namun beralih ke instrumen lain seperti drone.
    • Mengembangkan empat algoritma dan rumus tertentu serta menerapkannya dalam mengolah data penelitian. Kemudian membuat agoritma baru untuk memproses data dengan imaging sensors.
  1. Pengamatan :
    • Pengamatan utama dilakukan di Depok dimulai dari bulan 7 Juni – 7 Juli 2015, lalu dilanjutkan bulan 15 Maret-30 September 2017. Pengamatan juga dilakukan di Medan dari bulan Juli-Agustus 2017. Pengamatan dilanjutkan di berbagai tempat di Indonesia dan juga malaysia. ISRN telah mengumpulkan data penelitian dari 354 hari untuk waktu Shubuh dan 162 hari untuk waktu Isya.
    • Kolaborasi dengan OFUK yang berlokasi di Inggris. OFUK telah mengumpulkan data waktu fajar dengan menggunakan ASC sebanyak 56.430 foto dari 554 hari pengamatan selama tahun 2017-2018.
    • Kolaborasi dengan selain di atas juga ada, namun banyak yang kemudian terpaksa terhenti karena pandemi Covid-19.
  1. Hasil Penelitian:
    • Pada tempat latitude rendah (Indonesia) dan tinggi (Yorkshire, UK), fajar muncul ketika matahari berada di dip 13° di bawah ufuk. Ini artinya waktu Shubuh di Indonesia seharusnya lebih lambat sekitar 28 menit dibandingkan dip -20°.
    • Rata-rata dip kehadiran fajar mirip dengan rata-rata dip hilangnya syafak sebagai awal waktu Isya, yaitu -13°. Ini berarti waktu Isya di Indonesia seharusnya lebih cepat sekitar 20 menit dibandingkan dip -18°. Awal fajar dan akhir syafak seharusnya simetris.
    • Polusi cahaya dan sebagainya tidak terlalu berpengaruh pada terbitnya fajar shadiq. Menurut ISRN biarpun tempat sudah terpolusi cahaya, cahaya fajar shadiq tetap memancar dan dapat terlihat.
    • Iluminasi bulan juga tidak berpengaruh besar pada terbitnya fajar. SQM dapat mendeteksi kehadiran fajar di bawah -14° pada saat tingkat iluminasi bulan 100%.

N. Waktu Shubuh Menurut OIF-UMSU dan PASTRON-UAD

Sebenarnya saya sudah mencoba mencari referensi yang berasal dari Observatorium Ilmu Falak Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (OIF-UMSU) dan Pusat Studi Astronomi Universitas Ahmad Dahlan (PASTRON-UAD) sendiri supaya lebih valid, namun saya tidak berhasil mendapatkannya.

OIF-UMSU sebenarnya sudah menerbitkan buku yang berjudul Laporan Data SQM OIF UMSU Tahun 2017-2020, namun saya tidak berhasil mendapatkannya. Oleh karena itu, apa yang saya tulis berikutnya ini merupakan kutipan dari buku Premature Dawn: The Global Twilight Pattern. Apabila ada kesalahan akibat salah kutip (entah dari saya atau dari penulis buku Premature Dawn) atau salah paham, maka saya mohon maaf dan mohon koreksinya.

  1. OIF-UMSU telah mengumpulkan data dari 61 bulan pengamatan fajar di Sumatera Utara (Medan (OIF UMSU), Pantai Romantis (Deli Serdang), Barus (Tapanuli Tengah)) dengan menggunakan SQM, ASC, dan DSLR. Hasil akhirnya adalah dip yang direkomendasikan untuk waktu Shubuh adalah -16.48°
  2. OIF-UMSU berpendapat polusi cahaya dapat polusi cahaya menghalangi munculnya fajar shadiq dan mempengaruhi hasil pengamatan waktu fajar.
  3. PASTRON-UAD telah mengumpulkan data waktu Fajar selama 86 hari di Yogyakarta. PASTRON menyarankan dip waktu Shubuh adalah kurang dari -18°. (PASTRON memang tidak menyebut rekomendasi dip spesifik waktu Shubuhnya).
  4. PASTRON-UAD bukan hanya berpendapat polusi cahaya dapat polusi cahaya menghalangi munculnya fajar shadiq dan mempengaruhi hasil pengamatan waktu fajar, namun iluminasi cahaya bulan juga dapat berpengaruh. Iluminasi bulan malah dapat mengakibatkan keterlambatan terbitnya fajar dari kisaran 10 – 40 menit.

O. Waktu Shubuh Menurut Kemenag / LAPAN

Untuk bagian ini saya mengambil referensi dari tulisan Prof DR Thomas Djamalaluddin yang merupakan Anggota BHR Kementerian Agama RI dan Profesor Riset Astronomi-Astrofisika LAPAN.

  1. Pengertian fajar (morning twilight): Dari sisi syariah ada fajar shadiq dan fajar kadzib. Cahaya fajar shadiq dihasilkan dari hamburan cahaya matahari oleh atmosfer bumi. Karenanya fajar shadiq tampak membentang di ufuk. Fajar kadzib (fajar semu) yang secara astronomi dikenal sebagai cahaya zodiak. Fajar kadzib disebabkan oleh hamburan cahaya matahari oleh debu-debu antarplanet Sedangkan dari sisi astronomi, fajar dibagi menjadi tiga:
    • fajar astronomi (akhir malam, ketika cahaya bintang mulai meredup karena mulai munculnya hamburan cahaya matahari, ketika matahari berada sekitar 18° di bawah ufuk)
    • fajar nautika (fajar yang menampakkan ufuk bagi para pelaut, pada saat matahari berada sekitar 12° di bawah ufuk),
    • fajar sipil (fajar yang mulai menampakkan benda-benda di sekitar kita, pada saat matahari berada sekitar 6° di bawah ufuk).Fajar yang dijadikan pembatas pembatas awal shaum dan shalat shubuh (fajar shadiq) adalah fajar astronomi, saat akhir malam. Dasarnya adalah hadits Aisyah yang menyebutkan bahwa saat para perempuan mu’min pulang dari shalat Shubuh berjamaah bersama Nabi Muhammad SAW, mereka tidak dikenali karena masih gelap. Jadi, fajar shadiq bukanlah fajar sipil karena saat fajar sipil sudah cukup terang. Juga bukan fajar nautika karena seusai shalat pun masih gelap.
  2. Fajar di Indonesia wajar lebih awal, karena atmosfer ekuator lebih tinggi. Waktu Shubuh sesungguhnya termasuk fajar astronomi, saat cahaya bintang-bintang mulai meredup karena munculnya hamburan cahaya di ufuk Timur. Per definisi, fajar astronomi terjadi saat matahari berada pada posisi -18°. Namun itu rata-rata. Fajar itu terjadi karena hamburan cahaya matahari oleh atmosfer atas. Di wilayah ekuator, atmosfernya lebih tinggi dari daerah lain, sehingga wajar bila fajar terjadi ketika posisi matahari -20°.
  1. Waktu Shubuh semestinya diukur dalam kondisi langit cerah dan bebas polusi cahaya. Ada hasil penelitian menyatakan fajar terjadi pada posisi matahari -13°. Benarkah? Awan tipis dan polusi udara bisa menghalangi cahaya fajar di ufuk Timur, sehingga fajar astronomi yang putih tipis tidak tampak. Fajar yang agak kuning akan tampak saat matahari mulai meninggi. Polusi cahaya juga sangat mengganggu pengamatan fajar. Pengukuran fajar dengan SQM dari tengah kota dengan polusi cahaya yang cukup kuat bisa mengecoh, sehingga menyimpulkan fajar yang lebih lambat.
  2. Hasil penelitian di Labuanbajo, NTT 23-25 April 2018:
    • Labuanbajo tergolong minim polusi cahaya karena cahaya lampu kota belum terlalu banyak, sehingga galaksi Bima Sakti (Milky Way) pun terlihat dengan jelas dengan mata telanjang.
    • Pengukuran SQM dilakukan oleh Hendro Setyanto (astronom pengelola Imah Nong) pada 24 April 2018 dan Rukman Nugraha (astronom BMKG) pada 25 April 2018. Pemotretan dengan kamera DSLR dilakukan AR Sugeng Riyadi (astronom amatir, Kepala Observatorium Assalam) dan diolah oleh Dr. Rinto Anugraha (Dosen Fisika UGM, Pengajar Falak di UIN Semarang). Prof T. Djamalaluddin melakukan pengamatan visual dan mendokumenasikan dengan kamera HP. Hasilnya, munculnya fajar pada saat ketinggian matahari -20° mempunyai dukungan data pengamatan.
  1. Hasil penelitian di Banyuwangi dan Semarang:
    • Diteliliti dengan menggunakan SQM oleh M. Basthoni mahasiswa program doktor (S3) bimbingan Prof T. Djamalaluddin di UIN Walisongo Semarang.
    • Pengamatan di Yayasan Sunan Kalijaga Banyuwangi dilakukan pada 24, 25, dan 27 Agustus 2020. Sedangkan pengamatan di PPTQ Al-Ishlah Semarang dilakukan pada 25, 26, 28, dan 29 September 2020
    • Hasil penelitian: fajar shadiq muncul di Banyuwangi pada ketinggian matahari -20°. Sementara Fajar di Semarang baru tampak menjelang kemunculan fajar nautika pada ketinggian matahari -12° akibat polusi cahaya yang telah menghalangi munculnya fajar shadiq.
  1. Kesimpulan: dengan data pengukuran di Labuanbajo dan Banyuwangi membuktikan bahwa kriteria waktu Shubuh oleh Kementerian Agama sudah benar, tidak perlu dikoreksi.

P. Waktu Shubuh Menurut Astronom dan Pakar Falak Lainnya

  1. DR Dhani Herdiwijay, astronom dan akademisi ITB:
    • Melakukan pengamatan di Kupang NTT yang merupakan langit tergelap / tingkat polusi cahaya paling kecil
    • Efek polusi cahaya mempengaruhi kecerahan langit
    • Sudut elevasi Matahari di bawah ufuk 18° mengkonfirmasi definisi malam, yaitu awal tidak terlihat perubahan kecerahan langit.
    • Perubahan kecerahan langit mulai terjadi pada sudut elevasi 17° (sekitar 65 menit sebelum Matahari terbit). Sudut elevasi ini menjadi awal waktu shalat Shubuh dan Isya.
  2. AR. Sugeng Riyadi, Kepala Observatorium As-Salaam:
    • Awal Shubuh adalah saat birunya langit mulai kelihatan, meskipun sedikit, demikian juga dengan bagian terkecil dari horizon timur .
    • Fajar Shadiq baru mulai terlihat setelah sudut di atas -17°. Sebab kalau masih di sekitar -18°, warna langit masih terlalu gelap.
  1. Ma’rufin Sudibyo, Ketua tim ahli Badan Hisab dan Rukyat Daerah (BHRD) Kebumen, Jawa Tengah
    • Data-data penelitian cahaya fajar di Indonesia menunjukkan bahwa tinggi Matahari -20º yang selama ini dipedomani memiliki landasan ilmiah yang kukuh.
    • Jadi hingga saat ini tidak perlu ada perubahan waktu Subuh di Indonesia. Karena dasarnya bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
  1. Hendro Setyanto, Pengurus Litbang Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama; pendiri observatorium Imah Noong – Lembang:
    • Ada banyak penelitian tentang waktu Shubuh
    • Sebelum ada hasil yang pasti, tetap menggunakan yang sudah dipakai saat ini.
    • Jika masih ragu:
      • Dapat menunda waktu shalatnya sesaat untuk meyakinkan sudah masuk waktu
      • Untuk puasa jika ragu gunakan kriteria yang ada saat ini, yakni -20°, agar jangan sampai masih makan ketika sudah masuk waktu subuh.

Q. Pendapat Para Ulama Ahli Falak tentang Awal Waktu Shubuh

  1. Pendapat dip -18° untuk awal waktu Shubuh: Al-Fadl bin Hatim An-Nirizi (290 H / 903 M), Jabir al-Battani (317 H / 929 M), Kushair al-Jilly (350 H / 961 M), Abdurrahman As-Shufi (376 H / 986 M), Abu Raihan Al-Biruni (440 H / 1048 M), Ibrahim az-Zarqali (480 H / 1087 M), Nashiruddin At-Thusi (672 H / 1273 M), Mu’ayyid al-Urdi (664 H / 1266 M), Al-Hasan bin Ali al-Marrakusyi (680 H / 1281 M), Al-Qadhi Zadah ar-Rumy (840 H / 1436 M), Ibnu al-Majdi (840 H / 1436 M), Abdul Fattah as-Sayyid at-Tukh, Zubair Umar al-Jailany (1411 H / 1990 M) Semua ulama yang disebut di atas berpendapat awal waktu Shubuh dan awal waktu Isya -18°, kecuali Al-Biruni berpendapat awal waktu Shubuh dan Isya adalah -17° atau -18°;
  1. Pendapat dip -19° untuk awal waktu Shubuh:
    • Dengan pendapat dip Isya -16° : Ibnu as-Syatir (777 H, 1375 M), Muhammad Mukhtar bin Atharid Bogor
    • Dengan pendapat dip Isya -17° : Jamaluddin al-Mardini (806 H / 1403 M), Izzuddin al-Wafa’i (879 M / 1474 M), Sibt al-Mardini (912 H / 1506 M), Ahmad Zaini Dahlan (1304 H / 1886 M), Husain Zaid al-Mishri (1887 M) , Ahmad Khatib Minangkabau, Hasan bin Yahya Jambi, Muhammad Yasin bin Isa Padang (1410 H / 1990 M), Tengku Muhammad Ali Irsyad (2003 M)
  1. Pendapat dip -20° untuk awal waktu Shubuh: Muhammad Thahir Jalaluddin (1956 M), Muhammad Jamil Jambek (1947 M), Saadoeddin Djambek.

R. Perubahan Kriteria Awal Waktu Shubuh yang diterapkan Negara Lain

  1. Amerika Utara (ISNA). Awalnya waktu Shubuh -15° dan Isya -15°. Namun kemudian pada tahun 2011 atau 2012 ISNA mengubah kriteria Shubuh menjadi -17.5° karena sudah ada kesepakatan pada saat pertemuan FCNA 25 September 2011: Untuk banyak wilayah di USA -17.5° untuk Shubuh dan -15° untuk Isya.
  1. Malaysia.
    • Sebelumnya dip yang digunakan untuk waktu Shubuh adalah -20° berdasarkan pendapat ulama Syaikh Muhammad Thahir Jalaluddin. Dip dengan argumen pendapat syaikh ini juga digunakan di wilayah Asia Tenggara seperti Indonesia, Brunei, dan Singapura.
    • Jadwal waktu shalat Shubuh di Malaysia dengan dip waktu Shubuh -20° pada umumnya dihitung oleh ahli-ahli falak masa pra-kemerdekaan Malaysia yang tidak didukung data-data observasi.
    • Ada riset yang berjudul Reevaluation of The Sun’s Altitude for Determination Beginning of Fajr Prayer Times in Malaysia oleh Mohd Zambri Zainuddin dan kawan-kawan. Riset ini menyimpulkan bahwa ketinggian matahari awal waktu Subuh 18° derajat
    • Ada penelitian dari Dr. Kassim Bin Bahali yang merupakan anggota komite ru’yah negeri Malaka dengan menggunakan SQM dan kamera DSLR sejak 2017-2019 di 20 lokasi di Malaysia, 6 lokasi di Indonesia, dan 1 lokasi di Thailand. Tanggal (hari) pengamatan yang dipilih adalah tanggal-tanggal yang minim cahaya bulan (1-13 bulan Hijriah). Hasilnya adalah fajar shadiq tidak terbit pada saat -19° dan -20°, namun terbit pada dip -17°
    • Hasil penelitan termasuk menjadi faktor penyebab Kerajaan Malaysia mengubah dip awal waktu Subuh yang semula -20° menjadi -18°
  1. Daftar Kriteria Awal Waktu Shubuh dan Isya yang diterapkan di berbagai negara:
Lembaga / NegaraShubuhIsya
ISNA
(Sampai tahun 2011 waktu Shubuh masih -15°)
-17.5°-15°
Muslim World League-18°-17°
Ummul Qura Arab Saudi-18.5°-22.5°
Egyptian General Authority of Survey-19.5°-17.5°
University of Islamic Science, Karachi Pakistan-18°-18°
Malaysia
(Sampai awal tahun 2020 waktu Shubuh masih -20°)
-18°-18°
Indonesia-20°-18°

S. Perubahan Kriteria Awal Waktu Shubuh yang diterapkan Muhammadiyah

Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) sebagai lembaga keagamaan dalam Muhammadiyah mendapatkan berbagai masukan agar meninjau kembali waktu Shubuh. Akhirnya, dalam Musyawarah Nasional Tarjih ke-27 tahun 2010, MTT PP Muhammadiyah mengamanatkan kepada tiga lembaga untuk melakukan kajian dan observasi fajar,yaitu OIF UMSU, PASTRON UAD, dan ISRN UHAMKA.

Musyawarah Nasional Tarjih ke-31 20 Desember 2020 membuat keputusan bahwa ketinggian matahari berada di -18°. Lalu pada tanggal 20 Maret 2021 PP Muhammadiyah membuat keputusan tentang tanfidz keputusan Munas XXXI Tarjih Muhammadiyah tentang Kriteria Awal Waktu Subuh, yaitu mengubah awal waktu Subuh dari -20° menjadi -18°. Dengan keputusan PP Muhammadiyah resmi dan berlakulah ketetapan waktu Shubuh -18°, keputusan ini diikuti dan dilaksanakan oleh warga Muhammadiyah secara khusus, simpatisan Muhammadiyah, maupun kaum Muslimin secara umum yang beranggapan bahwa pendapat ini lebih benar.

Hal yang menarik adalah meskipun Prof Syamsul Anwar ikut berkontribusi dalam buku Premature Dawn: The Global Twilight Pattern yang kesimpulan penelitian ISRN pada buku tersebut adalah dip -13° untuk awal waktu Shubuh, namun keterlibatan beliau pada buku tersebut tidak membuat beliau sebagai Ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah bersikukuh untuk menerapkan -13° pada Munas XXXI. Ini menandakan bahwa beliau sebagai ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah adalah orang yang objektif dan terbuka dengan hasil penelitian dan pendapat pihak lain. Atau mungkin juga partisipasi beliau dalam buku tersebut hanya dari sisi syariah saja dan tidak berarti beliau setuju dengan hasil penelitian ISRN. Wallahu a’lam.

Yang jelas sebagai keputusan Munas XXXI MTT PP Muhammadiyah tentu sudah melalui proses diskusi dan penggalian informasi yang dilakukan oleh MTT PP Muhammadiyah. Rahmadi Wibowo Suwarno, Sekretaris Divisi Hisab MTT PP Muhammadiyah, menjelaskan lebih detil tentang alasan MTT PP Muhammadiyah memilih -18° :

  1. Aspek Syar’i Landasan utama tentu berdasarkan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan juga mempertimbangkan pendapat para ulama falak Muslim dari zaman dahulu hingga zaman sekarang yang mayoritas berpendapat waktu Shubuh mulai pada -17°, -18°, -19°, -20°.
  1. Hasil Oberservasi
    • Hasil kajian pakar astronomi, internal Muhammadiyah maupun pihak lain.
    • Kriteria yang digunakan negara lain (Turki, Inggris, Prancis, Nigeria, dan Malaysia) Kriteria negara yang disebut di atas sekarang menerapkan -18° untuk awal waktu Shubuh.
  2. Kemaslahatan Jangan sampai keputusan yang diambil menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Harus mempertimbangkan juga aspek sosial dan maslahatnya.

Penelitian awal waktu Shubuh yang dilakukan oleh lembaga penelitian Muhammadiyah memang tidak ada yang menyimpulkan persis -18°, PASTRON UAD hanya menyebut kurang dari -18°, OIF UMSU menyimpulkan -16.48°, sedangkan ISRN UHAMKA menyimpulkan -13°. Walaupun begitu kesimpulan PASTRON UAD dan OIF UMSU dengan keputusan Muhammadiyah -18° masih relatif dekat dan selisihnya sedikit. Kalau dibandingkan dengan ISRN UHAMKA memang selisihnya lumayan jauh.

Apakah dengan ini berarti Muhammadiyah kurang percaya diri dengan hasil kajian akademis internal (terutama ISRN yang selisihnya jauh)? Apakah tiga lembaga penelitian Muhammadiyah masih dinilai kurang pendalaman sisi syariat dan kemasalahatan? Rahmadi Wibowo Suwarno menjelaskan bahwa hal ini bukan masalah percaya atau tidak percaya, ataupun percaya diri atau tidak, tentu Muhammadiyah percaya dan mengakui kredibilitas akademis lembaga penelitannya, namun hal itu bukan berarti Muhammadiyah tidak boleh mempertanyakan hasil penelitan lembaga tersebut dan membandingkannya dengan yang lain, lalu dengan berbagai pertimbangan yang sudah dijelaskan di atas akhirnya Muhammadiyah memilih -18°.

Pandangan ini diperkuat dengan mayoritas ahli astronomi muslim klasik sejauh yang bisa diakses Majelis Tarjih. Begitu pula hasil riset yang dilakukan Mohd Zambri Zainuddin dkk dari Malaysia menyimpulkan hal yang serupa. Sebagai perbandingan, sejumlah negara juga menggunakan kriteria awal waktu subuh pada ketinggian matahari -18° derajat seperti, Turki, Inggris, Perancis, Australia, Nigeria, dan Malaysia.

T. Penutup dan Kesimpulan

Sebagai penutup, berikut ini kesimpulan yang penulis buat berdasarkan pembahasan di atas.

  1. Penentuan awal waktu shalat 5 waktu dengan hisab sangat membantu dan memudahkan kaum Muslimin dalam menjalankan ibadah shalat 5 waktu. Pada zaman dahulu memang sangat dimaklumi jika untuk shalat harus melihat perubahan posisi matahari karena ilmu hisab belum berkembang, dan umat Islam pada saat itu memang sudah terbiasa dengan melihat tanda-tanda alam yang masih bebas polusi cahaya. Tidak terbayang sulit dan repotnya umat Islam pada zaman sekarang ini untuk menjalankan shalat 5 waktu jika harus selalu melihat tanda-tanda alam dari perubahan posisi matahari.
  2. Terdapat berbagai macam pendapat dari para ulama yang ahli falak dan astronom mengenai awal waktu Shubuh. Perbedaan pendapat mengenai kriteria awal Shubuh dan sejenisnya merupakan perbedaan pendapat yang wajar di kalangan para ahli falak dan astronom. Perbedaan ini disebabkan penafsiran dalam memahami nash syariat, cara melakukan observasi, lokasi dan waktu pengamatan observasi, tingkat polusi cahaya, dan lain-lain. Penggunaan kriteria yang satu dan sama mungkin saja terwujud jika ada diskusi dan kesepakatan antara para ahli falak dan astronom, ada beberapa negara yang menggunakan kriteria yang sama, namun jika ada perbedaan kriteria yang digunakan di berbagai negara pun hal ini masih wajar dalam kerangka ilmiah saintis.
  3. Para ulama ahli falak klasik maupun yang modern, mayoritas berpendapat awal waktu Shubuh berada di rentang 17° sampai 20°. Begitu juga pendapat para astronom dan ahli falak zaman ini serta kriteria awal waktu Shubuh yang diterapkan oleh banyak negeri terutama negeri kaum Muslimin berada di rentang 17° sampai 20°.
  1. Terdapat selisih waktu 4 menit untuk setiap perubahan 1°; perbedaan 0.5° berarti selisih 2 menit. Selisih perbedaan waktu dari rentang 17° sampai 20° itu adalah berkisar antar 2 sampai 12 menit. Perbedaan maksimal 12 menit, masih dianggap perbedaan yang wajar dan dimaklumi.
  1. Pendapat awal waktu Shubuh berada di kisaran 13° sampai 14° dari sisi syariah tetap dianggap dan diakui sebagai ijtihad. Namun pendapat ini dari sisi ilmiah astronomi dan lainnya masih debatable serta jika dihitung selisih waktu perbedaan maksimal dengan -20°, maka selisihnya bisa mencapai 28 menit. Selisih 28 menit pada umumnya dianggap sebagai selisih yang tidak wajar karena lumayan jauh selisihnya.
  1. Pendapat yang menyatakan dip awal waktu Isya simetris dengan awal waktu Shubuh adalah pendapat yang menarik. Jika kita melihat pendapat para ulama ahli falak, banyak yang berpendapat dip awal waktu Shubuh simetris dengan awal waktu Isya, walau ada juga yang berpendapat tidak simetris. Jika kita memperhatikan Kriteria Awal Waktu Shubuh dan Isya yang diterapkan di berbagai negara, ada beberapa negara yang kriterianya sudah simeteris (Malaysia), banyak yang tidak sama dengan selisih 2 derajat dan ada juga yang selisihnya sampai 4 derajat (UQ Arab Saudi). Karena sampai saat ini belum banyak para ahli yang mengevaluasi ulang tentang awal waktu Isya, maka hal ini masih terlalu dini untuk dapat disimpulkan. Lebih baik mengikuti awal waktu shalat Isya yang saat ini sudah berjalan sampai ada banyak bukti dan penelitian yang mendukung tentang pendapat kesimetrisan waktu Isya serta diterapkan oleh beberapa lembaga atau negara.
  2. Analisa kriteria dip -13° atau -14° untuk awal waktu Shubuh dan Isya
    • Penelitian dan observasi yang kredible dan saintis di Indonesia yang mendukung pendapat ini hanya ISRN UHAMKA, inipun masih debatable dengan ahli falak dan astronom lainnya.
    • Penelitian dan observasi awal waktu Shubuh di Arab Saudi yang disebutkan oleh Syaikh Mamduh metodenya tidak terlalu jelas. Apabila hasil penelitian tersebut valid, kredible, dan saintis mengapa hasilnya tidak dijadikan pertimbangan oleh Ummul Qura / Muslim World Leauge / Kerajaan Arab Saudi untuk mengubah kriteria awal Shubuh menjadi -14°?
    • Syaikh Mamduh pernah memuji kriteria ISNA yang menyatakan awal waktu Shubuh berada pada dip -15° dan menganggapnya paling dekat dengan kebenaran, serta memiliki selisih yang sedikit dengan penelitian di Arab Saudi. Namun pendapat -15° ISNA itu adalah pendapat lama karena sudah diubah sejak tahun 2011/2012 menjadi menjadi -17.5°. Di ISNA tentu terdapat ulama termasuk ahli falak dan astronom yang kredibel, maka tidak mungkin ISNA mengubah kriteria waktu Shubuh menjadi -17.5°. jika tidak beranggapan bahwa pendapat sebelumnya tidak tepat yang tentu disertai bukti hasil penelitian dan observasi. Pendapat -17.5° juga masih sesuai dengan pendapat para ulama ahli falak klasik maupun yang modern yang mayoritas berpendapat awal waktu Shubuh berada di rentang -17° sampai -20°.
    • Walaupun dari sisi sains pendapat ini masih perlu pembuktian dan data pendukung lainnya, namun dari sisi syariah tetap dianggap dan diakui sebagai ijtihad. Bagi individu/kelompok yang ingin menerapkan ini silakan saja, namun jangan sampai membuat kegaduhan karena masih banyak masyarakat yang masih awwam mengenai hal ini. Ingat pesan syaikh Mamduh tentang pentingnya menjaga ukhuwah sesama Muslim.
    • Penulis sendiri menganggap pendapat ini masih belum kuat untuk dijalankan dengan alasan pendapat ini berbeda dengan pendapat para ulama ahli falak klasik maupun yang modern yang mayoritas berpendapat awal waktu Shubuh berada di rentang -17° sampai -20°, dan selisih waktunya jika dibandingkan dengan -20° dapat mencapai 28 menit. Selisihnya lumayan jauh, tidak wajar, dan sulit untuk dimaklumi. Namun jika pada waktu selanjutnya ada banyak bukti dan penelitian yang mendukung tentang pendapat -13° lebih tepat serta diterapkan oleh beberapa lembaga atau negara, maka tentu penulis siap mendukung pendapat ini juga.
  1. Kriteria dip awal waktu Shubuh yang dapat dipilih di Indonesia untuk saat ini yang sudah terbukti valid secara ilmiah adalah -18° dan -20°. Keduanya berada di rentang -17° sampai -20°, sehingga masih sesuai dengan pendapat mayoritas ulama ahli falak klasik maupun yang modern:
    • Dip -18° dengan argumen: Muhammadiyah dan juga Malaysia yang mengubah kriteria awal waktu Shubuh dari -20° menjadi -18° adalah keputusan yang valid karena sudah menimbangkan banyak faktor dari sisi syariah dan science (hasil penelitian dan observasi awal waktu Shubuh di banyak tempat). Dengan menetapkan -18° untuk awal Shubuh ini juga berarti simetris dengan dip -18° untuk awal waktu Isya.
    • Dip -20° dengan argumen: Kemenag Republik Indonesia yang tidak mengoreksi awal waktu Shubuh dan tetap di -20° juga valid karena memiliki pertimbangan syariah dan data penelitian di Labuanbajo dan Banyuwangi yang minim polusi cahaya. Meskipun lokasi pengamatan dan waktu pengamatan yang dibutuhkan tergolong sedikit, namun sudah mencukupi, mewakili, dan membuktikan bahwa kriteria waktu Shubuh oleh Kementerian Agama sudah tepat. Dengan ini berarti awal Shubuh ini tidak simetris dengan dip -18° untuk awal waktu Isya, namun selisihnya masih wajar hanya 2 derajat atau sekitar 8 menit.
    1. Jadi apakah awal waktu Shubuh di Indonesia terlalu cepat atau sudah benar? Jawabannya adalah tergantung pilihan waktu Shubuh yang diyakini. Jika memilih kriteria Kemenag -20° maka jawabannya sudah benar. Jika memilih kriteria yang sudah ditetapkan Muhammadiyah -18°, maka awal waktu Shubuh Indonesia saat ini memang lebih cepat, tapi tidak terlalu cepat dan masih dalam batas wajar, 8 menit bukanlah selisih waktu yang lama dan banyak. Kalau memilih kriteria -13° tentu awal waktu Shubuh Indonesia saat ini terlalu cepat, dan selisih waktunya lama dan banyak.
      Ibadah didasari pada keyakinan. Silakan ikuti waktu yang diyakini. Rekomendasi penulis sampai saat ini adalah -18° atau -20°. Tapi jika mau mengikuti yang -13° silakan saja. Jika sudah yakin dengan suatu pendapat, yakini dan jalani saja, jangan merasa ragu atau was-was, jangan risau tentang apa kata orang lain, dan tentu jangan memaksakan pendapat yang diyakini kepada orang lain, serta jangan mencela pendapat yang berbeda. Sebagai contoh jika mengikuti pendapat -20°, waktu Shubuh tanggal 26 Juli 2021 di Jakarta berdasarkan Kemenag adalah pukul 4.43 WIB dan waktu Isya 19.07 WIB maka:
      • Bagi muadzzin, ketika sudah pukul 4.43 WIB silakan langsung mengemumandangkan adzan, karena waktu Shubuh sudah masuk.
      • Bagi yang shalat Shubuh sendiri di rumah, ketika adzan Shubuh sudah masuk pukul 4.43 WIB, silakan langsung menjalankan shalat Shubuh, jika mau shalat sunnah qabliyah Shubuh sebelumnya juga lebih baik. Tidak perlu menunggu 8 menit dengan alasan khawatir waktu Shubuh sebenarnya belum masuk. Jika sudah memilih pendapat yang diyakini, jalani dengan yakin dan tak usah khawatirkan was-was/anggapan seperti itu.
  1. Begitu juga jika mengikuti pendapat -18°, waktu Shubuh tanggal 26 Juli 2021 di Jakarta
    berdasarkan perhitungan ini adalah pukul 4.43+ 0.08=4.51 WIB dan waktu Isya 19.07 WIB maka:
    • Bagi muadzzin, jika ingin mengemumandangkan adzan pada pukul 4.51 WIB, silakan lakukan di mushalla/masjid yang masyarakatnya sudah memahami hal ini, sehingga tidak terjadi kegaduhan pada masyarakat.
    • Bagi yang sedang sahur dan ingin melakukan shaum, bagi yang berpendapat ada waktu imsak, maka bisa sahur sampai pukul 4.41 WIB, sedangkan jika berpendapat tidak ada waktu imsak dan bisa sahur sampai waktu Shubuh, maka masih bisa makan sampai pukul 4.51 WIB. Tidak perlu khawatir dengan anggapan: Jika masih makan sahur di waktu kisaran 4.41-4.51 WIB padahal sebenarnya waktu shalat Shubuh sudah masuk, maka puasanya batal dan tidak sah karena masih makan di waktu mulai berpuasa. Jika sudah memilih pendapat yang diyakini, jalani dengan yakin dan tak usah khawatirkan was-was/anggapan seperti itu.
    • Jika sedang ada keperluan lalu dan baru sempat akan melakukan shalat Maghrib pukul 19.00 WIB, laksanakan shalat Maghrib karena masih ada waktunya. Jangan urungkan keinginan shalat Maghrib karena alasan waktu Maghrib sebenarnya sudah habis (menurut perhitungan dip -13°, waktu Isya sudah masuk sekitar pukul 18.40 WIB).

Bagi yang masih ragu memang akan banyak was-was dan pikiran, khawatir waktu Shubuh belum masuk, jadi undur shalat Shubuh sekitar 8 menit. Khawatir waktu Shubuh sudah masuk, ikuti jadwal imsak yang dibuat Kemenag saja. Khawatir waktu Isya sudah masuk pukul 18.40 WIB, tidak jadi shalat Maghrib di pukul 19.00. Dan kekhawatiran lainnya. Kalau bisa hilangkan keraguan dan pilih saja pendapat yang diyakini berdasarkan pilihan sendiri maupun atas jawaban dari ustadz/kyai/ulama kredible dan terpercaya.

Yusuf KS

Permalink: https://myks.wordpress.com/?p=838

PDF Version: https://myks.files.wordpress.com/2021/07/awal_waktu_shubuh_terlalu_cepat_atau_sudah_benar_yusufks.pdf

REFERENSI

Mamduh Farhan al-Buhairi, Salah Kaprah Waktu Subuh. Malang: Majalah Qiblati Edisi 08 Tahun IV 05-1430/ 05-2009 sampai Edisi 11 08-1430/08-2009, 2009.

Tono Saksono, Evaluasi Awal Waktu Subuh dan Iya: Perspektif Sains, Teknologi, dan Syariah, Jakarta: UHAMKA Press, 2018

Tono Saksono & Syamsul Anwar, Premature Dawn: The Global Twilight Pattern. Jakarta: Suara Muhammadiyah & ISRN UHAMKA, 2021.

T. Djamaluddin, Waktu Shubuh Ditinjau secara Astronomi dan Syar’i, 2010. [Online]. Available: https://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/04/15/waktu-shubuh-ditinjau-secara-astronomi-dan-syari/ [Diakses: 15 Juli 2021]

T. Djamaluddin, Benarkah Waktu Shubuh di Indonesia Terlalu Cepat?, 2017. [Online]. Available: https://tdjamaluddin.wordpress.com/2017/09/13/benarkah-waktu-shubuh-di-indonesia-terlalu-cepat/ [Diakses: 15 Juli 2021]

T. Djamaluddin, Penentuan Waktu Shubuh: Pengamatan dan Pengukuran Fajar di Labuan Bajo, 2018. [Online]. Available: https://tdjamaluddin.wordpress.com/2018/04/30/penentuan-waktu-shubuh-pengamatan-dan-pengukuran-fajar-di-labuan-bajo/ [Diakses: 15 Juli 2021]

T. Djamaluddin, Bukti Pengaruh Polusi Cahaya: Pengamatan Fajar di Banyuwangi dan Semarang, 2021. [Online]. Available: https://tdjamaluddin.wordpress.com/2021/04/07/bukti-pengaruh-polusi-cahaya-pengamatan-fajar-di-banyuwangi-dan-semarang/ [Diakses: 15 Juli 2021]Waktu Subuh: Tinjauan Pengamatan Astronomi. Dhani Herdiwijaya. 2017.

Rahmadi Wibowo S, Dip -18 Derajat dan Penjelasan Keputusan Tanfidz Tentang Kriteria Awal Waktu Subuh. 2021.

Dhani Herdiwijaya, Waktu Subuh: Tinjauan Pengamatan Astronomi. 2017, Jurnal Tarjih

Hendro Setyanto, Benarkah Awal Waktu Shalat Subuh Perlu dikoreksi, 2018. [Online]. Available:

https://www.nu.or.id/post/read/85574/benarkah-awal-waktu-shalat-subuh-perlu-dikoreksi [Diakses: 17 Juli 2021]

Marufin Sudibyo, Mari Sudahi Agitasi Waktu Subuh, 2020. [Online]. Available: https://alif.id/read/marufin-sudibyo/mari-sudahi-agitasi-waktu-subuh-b235025p/ [Diakses: 17 Juli 2021]

Astronomy Center, ISNA Adopts New Angles for Fajer and Isha, 2012.[Online]. Available: https://www.astronomycenter.net/articles/2012/07/30/81?l=en [Diakses: 17 Juli 2021]

Ilham Ibrahim, Waktu Subuh Muhammadiyah Kriteria 18 Derajat, 2021. [Online]. Available: https://muhammadiyah.or.id/waktu-subuh-muhammadiyah-kriteria-18-derajat/ [Diakses: 17 Juli 2021]

Arwin Juli Rakhmadi, Kassim Bahali dan Penelitian Awal Waktu Subuh di Alam Melayu, 2021. [Online]. Available: https://oif.umsu.ac.id/2021/05/kassim-bahali-dan-penelitian-awal-waktu-subuh-di-alam-melayu/ [Diakses: 17 Juli 2021]

Nashih Nashrullah, Riset dan Observasi Muhammadiyah Mundurkan Subuh 8 Menit, 2021. [Online]. Available: https://www.republika.co.id/berita/qqitt3320/riset-dan-observasi-muhammadiyah-mundurkan-subuh-8-menit-part1 [Diakses: 17 Juli 2021]

Leave a comment